Cahaya
di Ufuk Fajar
Pagi
ini aku bangun pagi-pagi sekali. Entah mengapa aku terbangun dari tidurku
begitu mendengar alarm weker doraemonku. Tak seperti biasa aku langsung
terbangun walaupun mendengar alarm sekalipun, biasanya selang beberapa menit
bahkan jam setelah weker berbunyi aku baru terbangun. Yah, weker yang selalu
membangunkanku. Ini adalah pemberian dari sahabat kecilku yang tak tahu entah dimana dia sekarang. Aku akan selalu
menjaganya baik-baik walaupun sekarang aku sudah tak pernah lagi bertemu
dengannya, hanya kenangan foto-foto kecil yang aku punya. Dan berharap kelak
aku akan bertemu kembali suatu saat nanti.
Kribo.
Yah, itulah panggilan akrab untuknya. Namanya sih Fajar tapi rambutnya unik,
kribo kaya musisi legendaris Ahmad Albar. Makanya dia sering dipanggil kribo.
Dia anak yang cerdas, sejak kecil dia selalu satu sekolah denganku, hanya beda
SMA saja. Waktu itu dia masuk di SMK sedangkan aku di SMA. Dia selalu
memikirkan hal-hal kedepan, tentang masa depannya besok, tentang keluarganya,
tentang cita-citanya. Dia bermimpi akan menjadi seorang Insinyur kelak. Yah,
sungguh cita-cita yang membanggakan. Orangtuanya pun selalu bangga dengannya,
aku pun bangga punya teman sepertinya. Dan sekarang aku kangen dengannya.
Kangen dengan ejekannya, kangen dengan gurauannya, kangen dengan rambutnya yang
suka ku kasih kecoa. Padahal dia paling takut dengan kecoa walaupun dia seorang
cowok. Hahahaha..... lucu. Masa-masa itu begitu indah, lucu, and ngangenin.
Kini kami sudah lulus dari sekolah. Masa putih abu-abu telah berakhir. Dan
sejak kelulusan itu kami tak pernah berjumpa lagi.
Semenjak
ayahnya meninggal sebulan setelah kelulusannya karena serangan jantung, Kribo
seakan kehilangan semangatnya untuk hidup. Ayahnya adalah seorang pahlawan
dalam keluarganya. Beliau selalu mencukupi semua kebutuhan keluarganya walaupun
hidup sangat sederhana. Ayahnya seorang nelayan, kami memang anak pesisir yang
sebagian besar penduduk di desa ini bermata pencaharian sebagai seorang nelayan.
Ibunya pergi ke pasar setiap hari untuk berjualan sayuran. Sebuah pasar
terbesar di kota kami. Kota kami adalah sebuah kota kecil di pinggiran pantai
utara jawa. Disinilah kami hidup sejak kecil, melukis ukiran-ukiran kisah yang
tak berujung, diantara gelombang-gelombang yang mengikis karang bebatuan.
Namun, setelah ayahnya meninggal Kribo dan keluarganya pindah ke Kebumen.
Tinggal bersama neneknya yang sudah tua renta. Baginya melanjutkan hidup disini
akan semakin membuatnya terpuruk oleh kepergian ayahnya. Oleh karena itu, dia
ingin meninggalkan kenangan-kenangan yang telah terukir di kota ini. Bahkan
meninggalkan kenangan bersamaku pula. Menyesal aku tak bisa datang ke pemakaman
ayahnya waktu itu karena aku sedang sakit, dan sekarang untuk mengubunginya pun
susah, nomor handphone sudah berganti, email pun gak pernah dibalasnya. Mungkin
dia benar-benar ingin melupakan semua itu.
“Ayaaa...!”
terdengar suara ibu yang memanggilku. Sepertinya aku harus segera beranjak dari
tempat tidurku.
“Iya
bu, sebentar,” sahutku dari kamar tidur.
Akupun
menghampiri ibuku yang sedang memasak di dapur. Rupanya ibuku tercinta ini
sedang membuat sup ayam kesukaanku. “Hmmmmmm, yummiii.” Ini akan menggugah
selera makanku hari ini. Makasih ibu. Hehehehehe, ungkapku dalam hati
kegirangan.
“Ada
apa bu?” tanyaku pelan.
“Ini
Ay, bantuin ibu masak ya nanti. Soalnya mbak tatik gak bisa kesini bantuin ibu untuk
buat kue. Padahal pesanan kue ibu lumayan banyak hari ini,” jelas ibu.
“Ok,
ibuku sayang,” balasku sambil mencubit pipi ibu dengan lembut. Hehehehe, aku
memang suka agak jahil dengan ibu.
“Ehhhh...
dasar anak usil ya, nanti akan ibu beri sambal hidungmu biar merah....,” ucap
ibuku.
“Yahhhh,
sambal??? hehehe, jangan dong bu, Aya kan gak suka sambal,” bujukku pada ibu yang
sedang sibuk mengulek sambal.
“Haha...
Ayaa,” ibu membalasnya dengan tawa.
“O...
ya bu, ayah kemana ya? Kok udah gak ada dirumah?” tanyaku pada ibu.
“Ayahmu
sudah berangkat ke toko Lin, pagi-pagi tadi sudah ada yang mencari ayah untuk
membeli dispenser sepertinya, “ balas ibu.
“Mmmmm....
gitu ya bu,”
“Heem,
nanti kamu antar makan siang ayah ke toko ya nak,” suruh ibu.
“Iya,
bu,” jawabku
“Mandi
dulu sana Ya’, udah siang,” suruh ibu
“Bentar
bu, masih jam 9 kok,” jawabku
“Terus
mau mandi jam berapa? Masa cewek mandinya siang-siang, jorok ah” tanya ibu.
“Hehehehe,
iya ibuku sayang. Ni Aya’ mau mandi deh,” sahut Cahaya sambil berjalan
mengambil handuk.
“Nah,
gitu baru anak ibu yang paling cantik,” kata ibu memujiku.
Gemericik
air kran yang tak terlalu besar airnya sedikit menambah suasana berisik dalam
rumah. Suara ibu yang sedang menggoreng telur pun ikut meramaikan suasana
rumah, ditambah lagi suara kakak yang sedang menonton acara musik di TV.
Suasana seperti ini pun jarang ku dapatkan sekarang, karena aku jarang di
rumah, aku melanjutkan kuliah di salah satu Universitas Negeri di Surabaya. Makanya
jarang sekali aku pulang ke rumah, hanya sebulan sekali bahkan bisa lebih jika
tugas-tugas kuliah menantiku. Dan sekarang aku sedang libur sebulan setelah
UAS, bulan depan aku sudah semester akhir. Dan sebentar lagi aku akan segera
lulus dari sarjanaku. Aku ingin membuat orang tua ku bangga denganku. Kakakku
kini sudah bekerja di salah satu bank swasta di kotaku. Dan aku? Aku belum tahu.
^^
Dunia
ini memang panggung sandiwara. Seperti yang di gambarkan dalam nyanyian seorang
musisi Ebiet G.A.D. Semua yang dilakukan manusia bagaikan sandiwara dalam
sebuah drama yang terdapat lakon-lakon yang berbeda peran, berbeda watak,
berbeda status, bahkan berbeda nasib. Dengan lakon-lakon tersebut mereka akan
mengalami sedih, senang, menangis, bahagia, kegagalan, keterpurukan, bahkan
keputusasaan. Dunia yang dilalui Fajar memang tak mudah. Ketika sosok seorang
ayah yang dia sayangi harus meninggalkannya untuk selamanya, hal itu sungguh
membuatnya hancur. Ibunya yang sering sakit-sakitan membuatnya harus berjuang
membantu ibunya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Adiknya masih sangat
belia jika harus ikut mananggung beratnya beban kehidupan yang fana ini. Aku
dengar dari sahabatnya kini Fajar melanjutkan kuliah di salah satu Universitas
Negeri di Semarang. Mendengar itu aku sungguh bangga dengannya. Tuhan pasti
akan membantunya dan mendengarkan doa-doanya. Kuliah sambil bekerja, itulah
yang dilakukannya. Meskipun sempat cuti setahun karena harus membantu adiknya
yang mau masuk SMA, dia tak putus semangat. Sungguh keelokan dan kekuatan
hatinya membuatku merinding. Jika ku diberi kesempatan untuk bertemu dengannya
kembali, ku ingin memberikan sebuah semangat agar membuatnya tegar menjalankan
sandiwara ini.
Akhir-akhir
ini aku sering berhubungan dengan Aldi, sahabat Fajar. Dia sering bercerita
tentangnya. Namun beribu kali sayang dia tak mau diketahui oleh siapapun
termasuk aku tentang keberadannya. Dia selalu bilang pada Aldi bahwa dia akan
kembali untuk kenangan-kenangan masa lalunya. Yahhh, semoga itu benar, aku
hanya bisa berharap dan menunggu saat itu tiba. Fajar si Kribo sok dungu akan
kembali.
***
Satu
bulan telah berlalu. Liburanku telah usai. Kini saatnya kembali mengejar ilmu
ke Negeri China. “Tuntutlah Ilmu sampai ke negeri China” Haha... itulah pepatah
yang membuatku semangat menjalani hari-hariku kuliah. Hari pertama masuk kuliah
di semester tua ini pun terasa sangat menyenangkan. Entah mengapa setelah aku
mengenal seorang mahasiswa transferan dari salah satu Universitas Negeri di
Semarang itu beberapa bulan lalu, aku jadi rajin sekali ngampus. Dia adalah
sosok yang sangat sederhana, pintar, lucu, mirip banget sama si kribo Fajar.
Namanya Didin.
Tanpa
sengaja aku menemukan foto Didin yang terselip dalam binder miliknya bersama
teman-temannya di Semarang. Ku lihat baik-baik foto itu. Dan ternyata ku dapati
foto Fajar bersamanya, aku masih ingat betul wajahnya, tak banyak perubahan dan
aku sempat tak percaya. Setelah aku bertanya pada Didin ternyata benar, dia
adalah Fajar yang ku maksud. Didin berteman dengan Fajar sejak mereka bekerja
di sebuah bengkel mobil yang sama. Mereka mencari uang untuk tambahan biaya
kuliahnya. Aku salut mendengarnya. Mereka juga pernah menjadi karyawan di
Pabrik Sidomuncul tapi mereka tak bisa membagi waktu antara kuliah dan bekerja.
Hingga akhirnya mereka memilih untuk bekerja di sebuah bengkel mobil milik
temannya. Dan kabar terakhir dari Didin, Kribo sekarang mencoba bisnis semacam
MLM (Multi Level Marketing) yang
mungkin hasilnya lebih besar dibandingkan dengan gajinya di bengkel.
“Didin,
“ kataku lirih.
“Ya, ada apa Ay? Jawab Didin sambil membaca
komik Naruto kesukaannya.
“Apakah
kamu tahu dimana Fajar tinggal sekarang?” Tanyaku
“Mmmmmm,
sepertinya dia tinggal di daerah kebumen tapi aku kurang tahu dimana tepatnya Ay”,
jawab Didin.
“Ooh
gitu ya Din, makasih ya,” balasku singkat
“Iya,
sama-sama Aya. Kamu pengen ke rumahnya ya?” Tanya Didin
“Hehe...”
“Kok
tertawa? Apanya yang lucu Ay?”
“Gak
kok, gak ada yang lucu Din. Iya, aku memang ingin bertemu dengannya karena dia
adalah sahabat kecilku yang menghilang begitu saja sejak kepergian ayahnya tiga
setengah tahun silam”, jelasku.
“Benarkah??”
tanya Didin seakan tak percaya.
Aku
hanya mengangguk.
“Mungkin
aku bisa membantumu untuk menemuinya, Ay. Tenanglah....,” Didin berusaha
membujuk Cahaya.
“Benarkah??”
tanyaku sedikit girang.
“Iya,
sebisa mungkin aku akan berusaha membantu kamu Ay”, Didin mencoba meyakinkanku.
“Makasih
ya teman, aku seneng banget hari ini,” jawabku.
“OK,
sama-sama Aya,” jawab Didin dengan senyuman.
Mungkin
ini awal dari kebahagiaan yang tertunda. Berhari-hari, berbulan-bulan aku dan
Didin berusaha mencari keberadaan Fajar. Sekarang nomor handphone-nya sering
tidak aktif. Oleh karena itu kami sulit menghubunginya. Sampai suatu saat
ketika aku di ajak ke rumah Didin di Semarang aku melihat sesosok laki-laki
berperawakan tinggi, putih, berpakaian rapi memakai kemeja panjang berwarna
biru muda, bersepatu vantovel sangat necis sedang makan di sebuah warung hik di
pinggiran jalan menuju simpang lima.
“Didin,
lihatlah orang itu necis sekali ya,” kataku pada Didin sambil melihat ke arah
orang tersebut.
Didin
pun menoleh dari pandangannya yang semula tertuju pada sebuah anggrek cantik
didepan rumah tetengganya yang sok kaya. Namun, setelah dia menoleh, dia
menganga heran. Apa yang dia lihat adalah si Kribo Fajar yang selama ini dicari
oleh Cahaya. Tapi mengapa Cahaya tak tahu, apakah dia sudah tak mengenalinya
lagi. Didin bertanya-tanya dalam hati.
“Cahaya???
Apa kamu tidak mengetahui sedikit pun siapa dia???” tanya Didin sambil menatap
wajah Cahaya yang tak bercahaya lagi.
“Tidak,”
jawab Cahaya sedikit bingung.
“Benarkah??”
balas Didin meyakinkan Cahaya.
“Iya,
aku gak tahu. Sebenarnya apa maksudmu Din?????” tanya Aya semakin bingung.
“Dia
Fajar Ay,” jawab Didin
“Fajar???
Apa kamu bilang? Fajarr????” tanya Aya tak percaya.
“Iya
Ay, itu Fajar.”
Dengan
spontan Cahaya berlari ke arah Fajar. Tak peduli lagi walaupun Didin berteriak
memanggilnya. Sebenarnya Cahaya pun heran dan setengah percaya setengah tidak
percaya bahwa itu Fajar. Fajar yang dulu kribo seperti tak terurus kini berubah
menjadi laki-laki dewasa yang sangat berwibawa. Tapi dari semua penampilannya
tersebut dia terlihat bahwa kepribadiannya yang sederhana tak pernah berubah.
Lihat saja dia tetap mau makan di pinggir jalan. Dia sangat ramah menyapaku
saat aku datang menghampirinya dengan senyuman yang tulus penuh warna.
Sepertinya dia tak pernah lupa dengan wajahku. Aku senang sekali dia masih
mengingatku. Tapi setelah senyuman itu dia seperti buru-buru lari dariku. Aku
berusaha menariknya kembali karena aku pikir ini adalah kesempatan besar dalam
hidupku untuk bertemu kembali dengan sahabat kecilku.
“Tunggu
sebentar, Fajar. Aku mohon,” kataku sambil memohon-mohon pada Fajar.
Fajar
terdiam tak bersuara, pandangannya kosong, dan tak mau mengatakan apapun pada
sahabat kecilnya itu. Sungguh pemandangan yang tak pernah aku bayangkan
sebelumnya. Apa maksud Fajar dengan semua ini, mengapa menganggapku seperti
orang lain yang tak pernah dia kenal sebelumnya. Satu kata yang dia ucapkan
adalah “maaf.” Bahkan aku tak mengerti dengan semua ini.
Setelah
seminggu berlalu kejadian itu masih terngiang dalam benakku. Dan apa yang
terjadi, ternyata dia telah kehilangan orang yang paling dia sayangi dalam
hidupnya untuk kedua kalinya. Satu-satunya adik perempuan yang dia sayangi
telah menyusul kepergian ayahnya sebulan
yang lalu karena kecelakaan saat menyeberang jalan ketika pulang dari sekolah.
Ibunya yang sering sakit-sakitan pun terliput dalam kesedihan yang tak bisa
tergantikan oleh apapun. Astaga, aku benar-benar tak bisa membayangkan
bagaimana perasaan Fajar sekarang. Semua dilakukannya untuk adiknya, untuk
ibunya, kini hidupnya bagai tak bernyawa lagi. Walaupun dia sudah sukses semua
itu sudah tak berarti lagi, yang paling berharga dalam hidup ini adalah
keluarga. Kehadiran orang-orang yang kita sayangi akan memberikan nuansa
kehangatan dalam hidup, selalu memberikan semangat bagi kita yang takkan pernah
tergantikan.
***
Setahun
sudah berlalu, aku telah menyelesaikan sarjanaku. Sekarang aku bekerja di
sebuah rumah sakit di Magelang sebagai seorang psikiater. Hari-hari ku jalani
dengan penuh semangat walau aku jauh dari orang tuaku. Aku akan sangat
merindukannya setiap saat. Sudah sebulan terakhir ini si Kribo Fajar sahabat
kecilku yang dungu sudah mau bertemu denganku kembali. Dengan segala
keceriaannya, ketulusannya, dia terlihat begitu tegar menjalani kehidupannya,
selalu tersenyum melewati segalanya. Sekarang dia menjadi seorang arsitek
sukses dan hidup bahagia bersama ibunya tercinta. Dia sangat menyayangi ibunya,
satu-satunya orang yang dimilikinya di dunia ini. Dan aku diberinya sebuah
lukisan indah bergambar masa-masa kecil kita dulu. Dia memang suka menggambar
sejak kecil. Wajar saja sekarang dia menjadi seorang arsitek yang sukses. Sungguh
lukisan yang indah. Lukisan terakhir yang mungkin akan diberikannya untukku
karena Fajar akan segera menikah dengan seorang gadis cantik pilihannya. Aku
senang sekali melihatnya bahagia dan semoga dia pun bahagia dengan pilihan
hatinya. Inilah cermin sebuah kisah dalam panggung sandiwara kehidupan yang
takkan pernah bisa membohongi takdir. Tuhan pasti akan menolong kita pada
saat-saat sulit sekalipun. Padahal kita adalah manusia yang selalu merasa
bangga dengan segala kesenangan yang telah diberikan tanpa mengingatNya.
By: @shiepuetz
>>>Arina.lestari23@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar